rakyat Papua menjerit dibawah jengkraman di bersama kolonial Indonesian.
Operasi militer Indonesia bukan barang baru di Papua. Presiden Sukarno, tercatat sebagai sosok yang memulainya, lewat operasi Trikora untuk merebut Papua dari Belanda pada 19 Desember 1961. Soeharto yang menggantikan Sukarno, melanjutkan pendekatan militeristik untuk merebut Papua, termasuk dengan menggunakan operasi khusus untuk memenangkan Pepera penuh manipulatif dalam tekanan militer
Pepera.
Rantai jengkraman kolonial Indonesia
Terhadap orang Papua .
Papua memegang posisi keempat tingkat tertinggi PRDB (pendapatan regional domestik bruto) melalui per kapita di atas 11 juta rupiah yang sebagian besar berasal dari industri yang terkait dengan sumber daya alam. Sayangnya, kondisi ini diikuti dengan sulitnya akses terhadap pelbagai kebutuhan pokok (misalnya pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat). Misalnya, Survei Kesehatan Penduduk di Papua (1997) memperlihatkan bahwa angka kematian bayi adalah 65 di setiap 1000 kelahiran, dan angka kematian anak adalah 30 per 1000. Rendahnya akses terhadap layanan umum di banyak kasus menyebabkan naiknya urbanisasi. Meskipun demikian, orang asli Papua sebagai mayoritas penduduk yang tinggal di pedesaan atau daerah-daerah terpencil mempunyai akses yang lebih rendah terhadap kebutuhan pokok. Berdasarkan pada sensus pada tahun 2000, 30% dari keseluruhan jumlah penduduk di Papua tinggal di pusat atau kota-kota terdiri atas 55% penduduk non-Papua dan 45% asli Papua. Di sisi lain, 70% dari penduduk Papua yang tinggal di pedesaan atau daerah terpencil terdiri atas 95% masyarakat asli Papua dan 5% non-Papua. Ketidakseimbangan komposisi penduduk tidak hanya terjadi di antara penduduk daerah perkotaan dan pedesaan, tetapi juga antara masyarakat asli Papua dan non Papua di daerah transmigrasi seperti Arso: jumlah penduduk asli sekitar 1000 orang di mana jumlah transmigran (nonPapua) sekitar 19.000 orang (berdasarkan sensus 2000). Program transmigrasi bertujuan untuk mengirimkan penduduk dari daerah-daerah padat penduduk di Indonesia (sebagian besar dari Jawa) ke daerahdaerah yang kurang padat penduduknya (termasuk Papua). Ketidakseimbangan demografi ini sebagai hasil dari transmigrasi, ditambahkan dengan marginalisasi penduduk asli Papua yang berakar dari kesenjangan antar kelompok masyarakat antara penduduk asli Papua dan para transmigran (non-Papua). Pertemuan secara mendadak antara penduduk asli Papua dengan kebudayaan-kebudayaan lain, alienasi penduduk asli dari tanah ulayat mereka, berkurangnya ruang gerak hidup (lebensraum) penduduk asli, juga ketegangan sosial ekonomi dan kesukuan adalah beberapa akibat dari program transmigrasi. Kasus transmigrasi menunjukkan distribusi penduduk yang tidak sejalan dengan distribusi kesejahteraan.
Papua dimasukkan ke dalam daerah dengan angka indeks kemiskinan yang tinggi dan daerah yang mempunyai tingkat perbedaan yang tinggi dengan Jakarta. Tantangan-tantangan yang berhubungan dengan kemiskinan di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, tetapi juga besarnya perbedaan antar daerah-daerah, propinsipropinsi, kabupaten-kabupaten dan kota-kota. Jakarta dan Papua menggambarkan perbedaan besar antar propinsi-propinsi: di Jakarta, hanya 3,4 persen dari total penduduk yang miskin, sementara sekitar separuh penduduk Papua hidup di bawah garis kemiskinan. Analisa obyektif mengatakan bahwa “kemiskinan” yang ada di daerah adalah hasil dari pemiskinan struktural yang disebabkan oleh kurangnya kesempatan bagi orang-orang untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan. Hal ini kemudian menghalangi mereka untuk mengakses dan memakai sumber-sumber daya yang ada (baik itu alam, sosial ekonomi, politik, hukum atau budaya) yang adalah hak mereka. Sejak era Orde Baru, kesempatan masyarakat asli Papua untuk terlibat dalam sektor perekonomian sangat kurang. Masyarakat asli Papua tidak dapat memenuhi penghidupan mereka sendiri karena kebanyakan kesempatan untuk mengembangkan usaha diberikan kepada mereka yang sudah memiliki modal sendiri. Hal ini terlihat dari keadaan sebagai berikut: Papua memiliki dua sektor perekonomian yang dominan, pertambangan dan pertanian, yang menyumbangkan 76% dari total PDRB. Salah satu karakter utama dari penduduk asli Papua adalah subsistensi. Namun, karakter ini tidak sesuai dengan kesempatan yang disediakan oleh dunia usaha; industri pertambangan padat modal menghasilkan 57% PDRB dan hanya menyerap 0,6% angkatan kerja, sedangkan sektor pertanian menghasilkan 19% PDRB dengan 75% angkatan kerja. Dalam sektor bisnis, keterlibatan penduduk asli Papua sangat rendah dan hampir semua pengusaha adalah migran. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan perekonomian tidak mencerminkan keadilan distribusi termasuk akses terhadap kebutuhan dasar. Ketidakadilan kesempatan berakar dari prasangka dan rasisme yang diakibatkan oleh penduduk asli Papua yang diposisikan sebagai inferior seperti yang terdokumentasi dalam gagasangagasan dasar yang menjadi latar belakang perumusan Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Propinsi Papua dalam bentuk wilayah dengan pemerintahan sendiri pada tahun 2001 mengenai kondisi penduduk asli Papua: 75% tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang layak, 50% tidak pernah mendapatkan pendidikan formal atau tidak lulus dari sekolah dasar, 22% hanya lulus dari sekolah dasar, 10% lulus dari sekolah menengah umum, dan 2% lulus dari universitas. Dalam jajaran Pegawai Negeri Sipil hanya 35% posisi Eselon II dalam Pemerintah Propinsi Papua yang ditempati oleh penduduk Asli Papua dan untuk Eselon III hanya 26%.
Orang Papua dipaksa beradab dengan modernisasi
Identitas kolektif orang asli Papua sebagai sebuah masyarakat yang modern dan beradab dipaksakan melalui program pemerintah. Misalnya, pada tahun 1971-1973, pemerintah Indonesia melaksanakan operasi Koteka (penutup penis dari sejenis labu, sebagai pakaian tradisional di dataran tinggi di Papua) yang terdiri atas elemen-elemen Angkatan Bersenjata dan Pemerintah Sipil bergabung dalam kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk membuat masyarakat-masyarakat pedalaman Papua beradab dan untuk mengembangkan serta menciptakan kondisi-kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik, yang akan digunakan untuk pengembangan Papua lebih lanjut, dengan tujuan utamanya menciptakan ide-ide nasional Indonesia, masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasia dan Undang-undang Dasar 1945. Operasi Koteka adalah kampanye militer Indonesia yang bertujuan untuk mempengaruhi orang asli Papua di pegunungan untuk meninggalkan aspek-aspek dari kebudayaan asli mereka, bersekolah, menjadi modern secara ekonomi, dan mengadaptasi identitas Indonesia yang lebih umum. Para pejabat berusaha untuk memaksa masyarakat suku Dani sebagai orang Pegunungan Papua untuk menukar Koteka mereka dengan pakaian bergaya Indonesia. Dengan demikian, strategi mempermalukan (humiliation strategy) digunakan dalam proses pembangunan di kalangan masyarakat Dani untuk membuat mereka lebih terlibat dalam perubahan sosial. Ketidakberimbangan kekuasaan tercermin dalam persepsi terhadap penduduk asli melalui pelecehan terhadap budaya-budaya tradisional lokal dan melabel budaya tersebut sebagai “terbelakang” dan “tidak beradab”. Atas nama pembangunan modern dan kemajuan, strategi mempermalukan yang meyakinkan masyarakat atas ketidakberhargaan diri dan budaya mereka tidak berharga sehingga mereka merasakan inferiority complex dan dipaksa untuk terlibat dalam perubahan sosial. Akumulasi keputusasaan penduduk asli Papua dilanjutkan dengan pengabaian hak-hak budaya sebagai cerminan martabat kolektif mereka.
Bagaimana dengan Otsus Jilid 1 di Papua
Keputusasaan lokal terus berlanjut pada periode paska tahun 2001 sesudah Otsus dilaksanakan. Acara cerminan 6 tahun Otsus di Papua yang diadakan pada bulan November 2007 oleh Pusat Demokrasi, Universitas Cendrawasih, Jayapura menyimpulkan bahwa pelaksanaan Otsus hanyalah menyentuh secara simbolis dan kurangnya bagian-bagian yang penting. Papua mendapatkan Otsus dari Pemerintah Pusat untuk periode waktu 25 tahun.
Keluhan-keluhan orang asli Papua yang masih berlangsung masih diekspresikan melalui demonstrasi-demonstrasi damai (misalnya parade damai akbar yang diorganisir oleh DAP (Dewan Adat Papua) pada tahun 2005 yang bertujuan mengembalikan Otsus kepada Pemerintah Pusat), upaya perbaikan situasi kesejahteraan penduduk asli Papua seperti yang dicita-citakan di dalam Otsus. Namun dominasi pendekatan militeristik mengakibatkan peningkatan angka kekerasan terhadap orang Papua dan marjinal .
• Politik perwakilan
Paragraf 5 UU No. 21/2001 Pasal 2 menyatakan “Dalam rangka melaksanakan Otsus di Propinsi Papua, MRP (Majelis Rakyat Papua) dibentuk sebagai perwakilan budaya masyarakat asli Papua yang memegang kewenangan tertentu untuk melindungi hak-hak masyarakat asli Papua, berdasarkan penghormatan terhadap adat dan kebudayaan, pendayagunaan perempuan dan memperkuat keharmonisan antar agama.” Jadi, pada dasarnya ini berarti bahwa MRP memegang peranan penting untuk mengaplikasikan tindakan nyata dan tegas (affirmative action) guna melindungi hak-hak masyarakat asli Papua sebagai jantung dari Otsus. Tindakan nyata dan tegas diwujudkan dalam bentuk perlakuan kompensasi istimewa yang ditujukan guna mempromosikan keikutsertaan dan memfasilitasi kesempatan yang setara bagi kelompokkelompok yang menderita diskriminasi termasuk suku minoritas dan para perempuan. Meskipun menurut UU No 21/2001 dinyatakan bahwa MRP harus dibentuk dalam waktu semaksimal mungkin satu tahun sesudah Otsus diberlakukan, dan Pemerintah Propinsi Papua telah memasukkan rancangan PP (Peraturan Pemerintah) mengenai MRP pada tahun 2002, akan tetapi pelaksanaan pembentukan MRP baru terlaksana pada bulan November 2005. Keterlambatan ini sebagian besar karena lambatnya pelaksanaan Pemerintah Pusat melalui PP No.54/2004 mengenai Pembentukan MRP pada bulan Desember 2004. Karena kemajuan besar pada kehidupan masyarakat asli Papua masih diharapkan, maka garis kewenangan sebagai badan yang mewakili masyarakat asli Papua harus ditetapkan dengan jelas. Proses pengawasan perlu dilakukan untuk mendapatkan transparansi mengenai jumlah uang yang besar yang dibelanjakan di bawah skema Otsus. Dalam perkembangan yang lebih lanjut, PP No. 54/2004 mengenai MRP tidak menampung seluruh kewenangan MRP di dalam masyarakat atau ruang publik. Keadaan ini menghambat MRP dalam melaksanakan mandatnya guna melindungi hak-hak masyarakat asli Papua di dalam proses pembangunan.
Amanat Majelis Rakyat Papua (MRP)
MRP mempunyai fungsi untuk menampung dan memberikan fasilitas, tetapi tidak memegang kewenangan untuk mengatur proses pembangunan supaya masyarakat asli Papua menikmati keadilan dan kesejahteraan yang merata dengan cara yang bermartabat.
Memaknai nya, kewenangan semua di putus oleh pemerintah pusat Indonesia.
Berdasarkan pasal 64 UU NO. 21/2001; Pemerintah Propinsi Papua berkewajiban untuk mengelola dan memanfaatkan lingkungan penghidupan dengan cara terpadu sesuai dengan karakteristik-karakteristik yang tersebar, perlindungan sumber daya alam biologis, sumber daya alam non-biologis, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam biologis dan ekosistem, pelestarian budaya, dan keanekaragaman biologis dan perubahan cuaca, dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk kesejahteraan rakyat”. Ketika MRP lakukan mediasi terkait hak Ulayat perampasan tanah adat di Papua pemerintah pusat seakan membiarkan dan menambah eksistensi konsisten untuk memberikan ruang bagi perusahaan industri masuk ke wilayah Papua eksportasi mulai dari perusahaan tambang emas, tambang pasir besi, minyak tanah, kelapa sawit, dan lain nya .
Awal mula Jejak kekerasan militer di Papua.
Perjanjian Roma/Roma Agrement diadakan di Roma, Ibu Kota Italia pada 30 September 1962 setelah Perjanjian New York/New York Agreement pada 15 Agustus 1962. Kedua perjanjian tersebut dilakukan tanpa keterlibatan satupun wakil dari rakyat Papua pada hal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua. Berikut isi Perjanjian Roma (Roma Agreement):
Perjanjian Roma yang ditandatangani oleh Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat merupakan perjanjian yang sangat kontroversial dengan 29 pasal yang mengatur dalam perjanjian New York, yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA kepada Indonesia.
Sehingga, berdasarkan perjanjian tersebut, klaim Indonesia atas tanah Papua sudah dilakukan pasca penyerahan kekuasan Wilayah Papua Barat dari tangan Belanda kepada Indonesia melalui Badan Pemerintahan Sementara PBB UNTEA pada 1 Mei 1963. Selanjutnya Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui operasi militer dan penumpasan gerakan prokemerdekaan rakyat Papua. Lebih ironis, sebelum proses penentuan nasib dilakukan, tepat 7 April 1967 Freeport perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika telah menandatangani Kontrak Pertamannya dengan pemerintah Indonesia.
Klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Sehingga, dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak suara, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Selama tahun 1961 hingga 2021 tercatat 22 Operasi Militer yang sudah Meneror, Mengintimidasi, Mutilasi serta Memperkosa Perempuan Papua untuk mengusai seluruh asset kekayaan Alam di tanah apapua. Bahkan sepanjang tahun – tahun itu, rakyat papua harus mengungsi mencari tempat aman.
Bahkan, dalam kurun waktu 2017-2022 terjadi pengungsian secara massal di beberapa wilayah diantaranya Nduga, Timika, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo dan yapen. Dewan Gereja dalam laporan terbaru melaporkan lebih dari 60.000 rakyat Papua mengungsi. Artinya selama 4 tahan berturut-turut rakyat Papua tidak merayakan Natal sebagai Hari Besar umat Kristen. Selain disebutkan diatas, proses pemiskinan secara ekonomi, pelayanan kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak layak dan persoalan di berbagai sektor dilakukan negara dengan sadar dan terencana.
Rekomendasi:
Pemerintah Indonesia segera lakukan Gelar referendum di west Papua sebagai solusi demokratis sebagai bagian dari menghargai demokrasi Indonesia sesuai PEMBUKAAN UUD 1945. .
Pemerintah Indonesia hentikan pendekatan militeristik di tanah Papua.
Artikel ini tulis oleh Nicko sol anggota AMP
Post A Comment:
0 comments: